The One - Perkembangan informasi teknologi seperti munculnya surat elektronik maupun pesan singkat telepon selular SMS membuat keberadaan surat konvensional mulai ditinggalkan orang. Surat-menyurat yang butuh waktu lama tergerus dengan teknologi SMS maupun surat elektronik yang memberikan kecepatan berkomunikasi. Profesi pengantar surat atau Pak Pos pun terkena imbasnya. Terancam punah. Untuk memperingati Hari Surat-Menyurat Internasional pada 9 Oktober, Reporter KBR68H Agus Luqman mengikuti aktivitas seharian seorang pekerja pengantar surat di Yogyakarta. Berikut kisahnya.
Panggilan Jiwa
Pagi itu, ruangan lantai dua di Kantor Pusat Pengolahan Surat Provinsi Yogyakarta mulai ramai. Belasan orang duduk di deretan meja panjang. Mereka sibuk merapikan tumpukan surat di meja.
Sindu Wibowo terlihat begitu bersemangat memasukkan tumpukan surat ke kantong kain besar berwarna oranye. Dengan jaket warna oranye dan hitam, ia terlihat segar. Ia siap menjalani hari sebagai pengantar surat PT Pos, profesi yang sudah ia geluti selama 25 tahun ini.
"Cita-cita saya dulu polisi, nggak tahu kok jadi pak pos", kata Sindu membuka percakapan kami.
"Sebelumnya saya ditawari teman untuk bekerja di Kantor Pos. Akhirnya saya mengajukan lamaran dan diterima. Bekerja di Kantor Pos mulai tahun 1983. Waktu itu di kantor Ketua Pos, lalu ke KPTB, kemudian ke Pos di Stasiun, lalu kita ngawal surat naik kereta. Sejak masuk PT Pos sampai menjadi Pengantar Surat, itu butuh waktu sekitar lima tahun."
Sindu Wibowo menjalani rutinitas sebagai Pak Pos setiap hari, kecuali Minggu. Ia berangkat dari rumah pukul tujuh pagi. Tiba di kantor, sudah menunggu tumpukan surat. Sebelumnya, petugas malam telah mengelompokkan surat-surat itu sesuai wilayah jelajah kekuasaan tiap pengantar surat.
"Sortir kasar itu campuran. Belum ditata berdasar alamat dan jalan. Lalu kita sortir halus, berdasar alamat dan jalan setiap hari lewat itu. Kita tentukan, mana yang lebih dulu diantar, jalan ke mana...”, lanjut Sindu.
Di halaman kantor, berjajar belasan sepeda motor dengan warna seragam; warna oranye khas Kantor Pos. Lengkap dengan logo berwarna hitam yang menggambarkan burung merpati pos mengelilingi dunia. Sepeda motor itu menggantikan peran sepeda pos yang khas dengan lonceng sepeda kring-kring pada masa lalu. Seharian itu, saya diizinkan mengikuti motor Sindu Wibowo yang sudah siap menjadi merpati pengantar surat.
Beberapa tahun lalu, orang belum banyak memanfaatkan surat elektronik atau email, dan pesan pendek telepon selular atau SMS masih menjadi barang mewah. Saat itu kantong surat Sindu Wibowo selalu menggelembung besar. Penuh surat pribadi. Dari situ Sindu merasakan kebahagiaan bertemu banyak orang. Kehadirannya selalu dirindukan masyarakat bahkan kedatangannya dijadikan patokan waktu.
Sindu, "Bisa bertemu dengan sanak saudara yang macam-macam. Kalau nggak silaturahmi itu banyak yang tanya. Bapak ini kok nggak datang-datang. Biasanya jalan sampai sini. Kalau sudah dua hari tiga hari nggak ketemu, begitu ketemu ditanya. Kenapa kemarin nggak lewat? Nggak ada masalah to? Ndak. Kalau ada hajatan ya sering suruh mampir. Kalau kelihatan lelah, orang dengan senang hati mempersilakan mampir.”
“Kita disuruh mampir. Ngobrol sambil makan. Kalau tidak mau, wajah mereka itu kurang begitu... Kita juga nggak enak kalau sering-sering. 'Ayo mas, makan bersama'. Kalau kita menolak itu ada yang mukanya kurang gimana."
Keahlian Pak Pos yang utama adalah mencari alamat rumah tujuan. Setiap pengantar surat diharuskan menguasai lebih dari empat wilayah setara Rukun Warga atau RW. Dibutuhkan daya ingat yang tinggi.
"Paling lama setengah jam. Nanya sana nanya sini. Sambil berpikir, sudah pernah mendapat atau belum. Kalau yang sudah pernah mendapat itu kita 'oya di sana.' Daya ingat harus kuat. Walaupun satu tahun sudah pernah dapat, itu nantikan kepikiran, oiya sebelah sana."
Bagi Sindu Wibowo, bekerja menjadi pengantar surat dan mendapat panggilan Pak Pos bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan sudah menjadi panggilan jiwa. Tak ada pekerjaan lain yang lebih menyenangkan selain menjadi pengantar surat. Meski setiap hari, ia harus menyusuri jalan, didera panas dan kadang hujan, masuk keluar gang kecil, naik turun sepeda motor, semata untuk menemukan alamat penerima surat yang tepat.
"Walaupun kita capek, kalau sudah ketemu alamat yang kita cari itu sudah senang. Walau waktu nyari itu capek keringetan, tapi kalau sudah ketemu yang dicari rasanya mantab, senang."
Apa mau dikata, teknologi SMS dan email mengubah segalanya. Kebiasaan surat-menyurat di masyarakat mulai berkurang di awal 1990-an. Tumpukan surat-surat pribadi yang harus diantar Pak Pos pun kian menyusut. Pejabat Pusat Pengolahan Surat PT Pos Yogyakarta Mudjiman menyebut, penurunan jumlah surat pribadi mencapai 30 persen.
"Dengan adanya SMS, dll, secara otomatis ya itu. Tapi ada penggantinya. Perusahaan-perusahaan besar, instansi, billing itu masih menggunakan jasa kita. Perbankan juga masih menggunakan jasa kita. Tagihan-tagihan itu. Pengganti dari surat-surat itu masih ada."
Di tengah kepungan surat elektronik dan SMS, apakah keberadaan Pak Pos tetap dibutuhkan? Atau semakin terancam punah dalam sekian tahun ke depan?
Pak Pos Masih Dibutuhkan
"Saya terus-terang tidak terbiasa menulis surat”, kata Reni tentang kebiasaan menulis surat.
Komentar singkat Reni, warga Yogyakarta, itu mungkin mewakili banyak orang yang kini mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi jarak jauh. Kecepatan waktu juga memberikan kenyamanan komunikasi lewat teknologi.
“Saya tidak begitu dekat dengan pak pos. Kalau di asal saya Purwokerto, saya berdekatan. Secara manajemen, saya tahu. Luar biasa aja. Sangat terbantu. Sekarang jaman paket-paketan. Ini sangat membantu.”
Di Pusat Pengolahan Surat Kantor Pos Yogyakarta, dahulu terdapat lebih dari 100 orang pengantar surat. Namun ketika jumlah surat yang harus diantarkan terus berkurang, perusahaan BUMN itu terpaksa mempensiunkan puluhan karyawan pengantar surat lebih dini. Padahal, menurut petinggi Pusat Pengolahan Surat PT Pos Yogyakarta, Mujiman, mereka harus melayani pengiriman surat-surat seluruh wilayah Yogyakarta.
"Dulu, ada sekitar 112-115. Sekarang karena ada teknologi, kita juga sedikit berpengaruh. Kita pun penguasaan wilayah, yang dulu dikuasai 115 petugas, diciutkan 90 harus bisa menguasai yang dulu dikuasai 115 itu."
Agar keberadaan Pak Pos tak hilang, kata Mujiman, PT Pos melakukan terobosan untuk kembali mengenalkan budaya korespondensi atau menulis dan bercerita melalui surat kepada masyarakat. Begitu juga dengan pengenalan hobi filateli atau mengoleksi perangko.
"Di Jogja itu sudah dilakukan. Anak TK itu dikenalkan langsung di lapangan. Lalu si anak itu menulis surat pada orang tuanya. Sekaligus belajar berkirim surat. Itu sudah dilakukan di Yogyakarta. Ini kelihatannya setiap tahun ada. Tapi kalau pemerintah juga mendukung untuk lomba berkirim surat, katakanlah, dikaitkan dengan Hari Surat Menyurat Internasional itu tentu menarik."
PT Pos juga membuka pintu bagi sekolah-sekolah, dari TK hingga SMA, yang ingin berkenalan dengan dunia pos.
Sindu Wibowo sebagai Pak Pos juga kerap dilibatkan dalam pengenalan semacam itu.
"Anak kecil itu sekarang mulai digalakkan untuk mengirim surat buat orang tua sendiri. Terkadang ada yang ikut putar-putar, kita lalu mengembalikan lagi."
Seorang warga Yogyakarta, Andri mengaku khawatir bila profesi Pak Pos semakin tergerus dan terancam oleh kehadiran teknologi, maupun kehadiran perusahaan jasa antaran swasta. Apalagi jasa pengiriman wesel pos juga mendapat saingan dari jasa pengiriman uang swasta yang beraneka ragam.
"Saya juga agak prihatin. Tapi masih ada kebanggaan. Kantor Pos untuk surat memang berkurang, tapi untuk paket bagus sekali. Dipercaya. Untuk Pos, itu bisa kita andalkan."
Kini PT Pos lebih banyak melayani jasa korespondensi dari instansi pemerintah, mengantar surat-surat tagihan perusahaan perbankan, operator telekomunikasi, pengiriman paket pos dan semacamnya. Banyak konsumen lebih percaya jasa pengiriman paket pos dibanding perusahaan swasta.
"Walaupun teknologinya seperti apa, Pak Pos itu tetap bermanfaat, berguna. Walaupun sudah canggih, kita masih gunakan Pos”, kata Ibu Suratin.
Banyak orang bertanya-tanya terhadap nasib Pak Pos di kemudian hari. Tapi toh itu tidak membuat pesimistis PT Pos maupun para pengantar surat itu sendiri. Apalagi penghasilan para pengantar surat itu cukup manusiawi.
Gaji seorang pengantar surat PT Pos rata-rata di atas dua juta rupiah per bulan. Mengingat profesi ini cukup berat, karena harus selalu menyusuri jalan, berpanas-panas dan berhujan-hujan, para pengantar surat PT Pos juga mendapat asuransi kesehatan dan pensiun. Belum lagi ada fasilitas motor baru dari perusahaan, atas nama pribadi Pak Pos, tanpa mereka harus mengeluarkan biaya sepeserpun.
Menurut petinggi Pusat Pengolahan Surat PT Pos Yogyakarta, Mujiman, setiap pengantar surat akan mendapat motor baru atas nama pribadi, setiap lima tahun. Mujiman mengistilahkan fasilitas itu sebagai sewa motor.
Di usianya sekitar 45 tahun, Pak Sindu Wibowo tetap tersenyum dan bersemangat menjadi pengantar surat. Profesi yang sudah ia geluti 25 tahun ini. Ia termasuk generasi tertua yang masih aktif menjadi pengantar surat di Yogyakarta. Biarpun tradisi menulis surat kian menipis, ia tetap menyambangi rumah demi rumah. Mengantar apapun yang menjadi tugasnya. (*)
Sumber : SAGA KBR68H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar